Industri video game telah mengalami transformasi besar dalam dua dekade terakhir. Salah satu topik yang menjadi sorotan utama adalah isu keragaman—baik dari segi karakter, cerita, representasi budaya, gender, hingga aksesibilitas. Banyak pihak memandang ini sebagai kemajuan signifikan. Namun, tidak sedikit pula yang mempertanyakan: apakah keragaman dalam game benar-benar tulus, atau hanya sekadar gimmick untuk menarik perhatian pasar?
Keragaman dalam Game: Representasi Karakter yang Lebih Inklusif
Keragaman dalam video game bisa dilihat dari representasi karakter yang semakin luas. Tidak hanya didominasi oleh karakter laki-laki kulit putih seperti pada masa lalu, kini kita melihat kehadiran protagonis wanita, karakter kulit hitam, Asia, penyandang disabilitas, hingga tokoh LGBTQ+ yang menempati peran utama dalam cerita.
Game seperti The Last of Us Part II menempatkan karakter LGBTQ+ sebagai tokoh sentral, Assassin’s Creed: Origins memperkenalkan karakter Afrika sebagai protagonis utama, dan Celeste menghadirkan narasi tentang perjuangan kesehatan mental dengan karakter transgender. Ini semua memperluas perspektif pemain dan memperlihatkan bahwa dunia game mampu merepresentasikan spektrum manusia yang lebih kompleks dan realistis.
Keragaman dalam Game: Strategi Bisnis atau Komitmen Sosial?
Namun, pertumbuhan representasi ini tak lepas dari realitas bisnis. Industri game bernilai miliaran dolar, dan setiap tren sosial akan selalu dilihat melalui kacamata pemasaran. Saat kesadaran akan keragaman dan inklusi meningkat secara global, banyak perusahaan game mulai memasukkan unsur-unsur ini ke dalam produk mereka. Pertanyaannya adalah, apakah langkah tersebut dilakukan dengan niat tulus untuk menciptakan perubahan sosial, ataukah hanya strategi bisnis demi memperluas pasar?
Beberapa studio game dituding melakukan “tokenism”—praktik di mana keragaman dimasukkan hanya untuk memenuhi ekspektasi sosial atau menarik perhatian media, bukan karena keyakinan akan pentingnya representasi yang adil. Karakter dari kelompok minoritas sering kali muncul tanpa kedalaman naratif, bahkan kadang tidak memengaruhi jalan cerita sama sekali. Dalam konteks ini, keragaman justru terasa seperti tempelan kosmetik.
Keragaman dalam Game: Apresiasi atau Tuntutan yang Dipaksakan?
Respon komunitas gamer terhadap isu ini pun sangat beragam. Sebagian menyambut baik langkah inklusif ini sebagai perubahan positif dan mencerminkan kenyataan sosial yang lebih akurat. Banyak pemain yang merasa lebih terhubung secara emosional saat melihat karakter yang merepresentasikan pengalaman mereka sendiri.
Namun, tak sedikit pula gamer yang merasa bahwa dorongan keragaman terlalu dipaksakan dan mengganggu pengalaman bermain. Keluhan seperti “agenda politik dalam game” sering muncul di forum diskusi seperti Reddit atau Steam. Sentimen ini biasanya muncul saat perubahan dianggap terlalu mendadak atau tidak sesuai konteks cerita.
Salah satu contoh kontroversial adalah Battlefield V, yang menampilkan protagonis wanita dalam latar Perang Dunia II. Walau sejarah mencatat kontribusi nyata perempuan dalam perang, sebagian pemain menganggap representasi tersebut sebagai distorsi sejarah demi agenda inklusivitas.
Keragaman dalam Tim Pengembang: Faktor yang Sering Terlupakan
Isu keragaman tidak hanya sebatas pada layar, tapi juga penting dilihat dari balik layar—yakni dalam tim pengembang. Seberapa beragamkah mereka yang menciptakan game ini?
Studi menunjukkan bahwa industri game masih sangat didominasi oleh laki-laki kulit putih. Ketimpangan ini turut memengaruhi sudut pandang, tema, dan gaya penceritaan yang dominan. Ketika studio mulai merekrut lebih banyak talenta dari latar belakang berbeda, kita mulai melihat perubahan signifikan dalam gaya cerita, nuansa karakter, hingga nilai-nilai moral yang ditampilkan dalam game.
Misalnya, Never Alone (Kisima Inŋitchuŋa), game yang dikembangkan bersama komunitas Iñupiat (suku asli Alaska), mampu menghadirkan cerita otentik dan budaya lokal yang jarang terwakili dalam media arus utama.
Keragaman dalam Game: Inklusivitas untuk Pemain Disabilitas
Aspek lain dari keragaman adalah aksesibilitas. Banyak studio kini berusaha membuat game mereka lebih ramah bagi pemain dengan disabilitas. The Last of Us Part II menjadi pelopor dalam hal ini, dengan menyediakan lebih dari 60 opsi aksesibilitas seperti subtitle dengan latar belakang warna, mode navigasi suara, hingga auto-aim untuk tunanetra.
Kemajuan dalam aksesibilitas menunjukkan bahwa industri game mulai memahami bahwa keragaman bukan hanya tentang siapa yang tampil di layar, tetapi juga siapa yang bisa bermain.
Apakah Semua Game Harus Beragam?
Muncul pula pertanyaan lain yang tak kalah penting: apakah semua game harus memasukkan unsur keragaman? Jawabannya tidak sesederhana ya atau tidak.
Setiap karya seni memiliki hak untuk memilih fokus dan konteksnya. Game indie yang berfokus pada nostalgia tahun 80-an misalnya, tak harus memasukkan elemen keragaman hanya demi mengikuti tren. Namun, ketika sebuah game memiliki latar dunia terbuka yang luas, dan memilih untuk mengabaikan keberagaman dunia nyata secara total, hal itu bisa menimbulkan kesan eksklusif atau bahkan bias.
Yang terpenting adalah keseimbangan antara niat artistik dan kesadaran sosial. Ketika keragaman disisipkan dengan niat dan kedalaman, hasilnya bisa sangat kuat dan menyentuh. Namun jika dilakukan asal-asalan, bisa berbalik menjadi bumerang.
Studi Kasus: Game yang Sukses dan Gagal dalam Menerapkan Keragaman
Sukses: Life is Strange Series
Seri Life is Strange merupakan contoh bagaimana keragaman bisa terintegrasi dalam cerita tanpa terasa dipaksakan. Tokoh utama yang berasal dari latar belakang berbeda, serta topik seperti kesehatan mental, kekerasan dalam rumah tangga, hingga identitas gender dibahas dengan narasi yang menyentuh dan kuat. Komunitas gamer dan kritikus pun memberikan pujian atas pendekatan autentik yang dilakukan pengembangnya.
Gagal: Forspoken
Game Forspoken yang dirilis pada awal 2023 sempat mendapatkan perhatian karena protagonisnya adalah seorang perempuan kulit hitam. Namun, kritik tajam muncul karena narasi yang lemah, dialog yang dianggap tidak autentik, serta gameplay yang tidak sesuai ekspektasi. Dalam kasus ini, keragaman tidak cukup untuk menyelamatkan game dari kegagalan jika aspek fundamental lainnya tidak diperhatikan.
Antara Progres dan Strategi
Keragaman dalam game adalah sebuah kemajuan penting yang mencerminkan perubahan sosial dan budaya secara global. Ketika dilakukan dengan niat baik dan penuh perhatian, keragaman mampu memperluas wawasan pemain, membangun empati, dan menghadirkan pengalaman bermain yang lebih kaya.
Namun, jika hanya digunakan sebagai alat pemasaran atau tempelan, keragaman bisa kehilangan maknanya. Oleh karena itu, yang dibutuhkan bukan hanya representasi, tapi juga kualitas, kedalaman, dan konteks. Studio game memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan cerita yang inklusif namun tetap autentik, dan komunitas gamer memiliki peran untuk terus mendorong arah perubahan yang lebih baik—bukan sekadar ikut arus tren sesaat.












Leave a Reply